MAKALAH
A.
Instrumen Non
Tes
Pada prinsipnya
meneliti adalah melakukan pengukuran terhadap fenomena sosial maupun alam.
Meneliti dengan data yang sudah ada lebih tepat kalau dinamakan membuat laporan
daripada melakukan penelitian. Namun demikian dalam skala yang paling rendah
laporan juga dapat dinyatakan sebagai bentuk penelitian. Karena pada prinsipnya
meneliti adalah melakukan pengukuran, maka harus ada alat ukur yang baik. Alat
ukur dalam penelitian biasanya dinamakan instrumen penelitian. Jadi instrumen
penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun
sosial yang diamati (Sugiyono, 2009: 147).
Pada dasarnya terdapat
dua macam instrumen, yaitu instrumen yang berbentuk tes untuk mengukur prestasi
belajar dan instrumen nontes untuk mengukur sikap. Instrumen yang berupa tes
jawabannya adalah salah atau benar, sedangkan instrumen sikap atau nontes
jawabannya tidak ada yang salah atau benar tetapi bersifat positif dan negatif
(Sugiyono, 2009: 174). Instrumen non tes digunakan untuk mengukur kepribadian,
perilaku, sikap atau respon seseorang terhadap suatu hal. Setiap waktu kita
terikat dengan kegiatan menilai perilaku dan sikap seseorang meskipun terkadang
kita tidak menyadarinya. Ketika kita mengatakan bahwa Joni anak yang baik, Tomi
anak yang nakal, Susi anak yang tidak pandai bergaul, sebenarnya kita sedang
membuat penilaian terhadap kepribadian. Kita menggunakan evaluasi informal
tersebut untuk memutuskan dengan siapa kita ingin bekerjasama dan siapa yang
harus kita hindari, atau dapat juga membantu kita dalam menerapkan
strategi-strategi yang sesuai dengan kepribadian seseorang (Cecil, 2010: 372).
Dalam konteks pendidikan, tentunya mengetahui kepribadian siswa akan sangat
berguna dalam menerapkan praktek pembelajaran yang dilakukan. Tetapi
kenyataannya, penilaian dengan teknik non tes ini kurang mendapat perhatian
dari para guru maupun praktisi pendidikan tidak terkecuali dalam pendidikan
matematika.
Tidak dapat
dipungkiri sampai saat ini penilaian pendidikan matematika lebih banyak
menggunakan instrumen berupa tes. Selama ini teknik non tes kurang digunakan
dibandingkan teknis tes karena penilaian lebih mengutamakan teknik tes. Hal ini
tentu tidaklah cukup, Robert dan David (1991: 242) mengungkapkan bahwa selain
nilai-nilai yang didapatkan siswa dari instrumen tes, masih banyak bidang dalam
kurikulum yangmana teknik tes ini menjadi tidak tepat atau kurang tepat daripada
teknik non tes. Sebagai contoh, pembelajaran yang menggunakan kemampuan
berbicara dalam pelajaran bahasa. Atau kemampuan-kemampuan aplikatif dalam
bidang fisika, teknik industri, dan pertunjukkan seni yang akan lebih sering
menggunakan demonstrasi serta berorientasi pada proses dan hasil. Objek
penilaian pembelajaran matematika terlalu kompleks jika hanya mengandalkan tes
saja. Berbagai objek penilaian pembelajaran matematika memerlukan instrumen non
tes untuk memperoleh informasinya (Ekawati dan Sumaryanta 2011: 33).
Proses pengumpulan
informasi atau pengumpulan data merupakan suatu hal yang sangat penting. Data
yang dikumpulkan sangat terkait dengan fenomena, yang menjadi fokus penelitian.
Selain itu, jenis data yang akan dihasilkan juga
berdampak pada pelaksanaan pengukuran dalam penelitian. Jenis data tersebut
meliputi data nominal, data ordinal, data interval dan data rasio (Retnawati,
2016: 1-2).
1.
Data
nominal merupakan ukuran diskrit (terpisah antar data), tidak ada hubungan antara
skala yang satu dengan skala yang lain. Contoh data nominal misalnya agama,
warna pakaian atau kendaraan, jenis kelamin, hobi, dan lain-lain.
2.
Data
ordinal merupakan ukuran yang menunjukkan posisi suatu objek, dengan ukuran
tersebut dapat diurutkan dari urutan paling rendah sampai yang paling tinggi,
namun belum ada jarak atau interval antara posisi ukuran yang satu dengan yang
lain. Contoh data ini misalnya skala Likert (Sangat Setuju, Setuju, Ragu-ragu,
Tidak Setuju, Sangat Tidak Setuju), dimana belum ada jarak yang jelas antara
tidak setuju dengan sangat tidak setuju, dan juga skala lainnya.
3.
Data
interval merupakan ukuran yang menunjukkan posisi suatu objek dalam suatu
urutan paling rendah sampai yang paling tinggi, dan ada jarak atau interval
antara posisi ukuran yang satu dengan yang lain. Contoh data ini adalah
nilai/skor dalam pendidikan. Pada data interval, nilai nol juga bukan nilai
yang mutlak, yang berarti bahwa seorang peserta didik memeroleh skor nol, belum
tentu peserta didik tersebut sama sekali tidak menguasai komptetensi dalam
pembelajaran, namun bisa jadi karena alasan lain.
4.
Pada
data rasio, ukuran menunjukkan posisi suatu objek dalam suatu skala paling
rendah sampai skala yang paling tinggi, ada jarak atau interval antara posisi
ukuran yang satu dengan yang lain, dan adanya besaran absolute/mutlak. Sebagai
contoh pada data rasio adalah ukuran volume air. Volume air dalam suatu wadah
sama dengan nol berarti air dalam wadah tersebut memang telah kosong, atau
tidak ada air sedikitpun dalam wadah tersebut.
Jenis data tersebut berdampak pada pelaksanaan
pengukuran dalam penelitian. Sebagai contoh seorang peneliti ingin mengetahui
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) siswa SMP di
kabupaten Subur Makmur. Fokus permasalahan yang menjadi kata kunci penelitian
ini adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi. Ini berarti data yang harus
dikumpulkan peneliti tersebut adalah data kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa SMP. Karena kemampuan berfikir tingkat tinggi merupakan kemampuan yang
abstrak, diperlukan suatu tes untuk mengukurnya. Kemampuan ini dapat diukur
dengan teknik tes, dan data yang kita peroleh berupa data interval. Pada kasus
lain, seorang peneliti ingin mengetahui motivasi kerja karyawan. Permasalahan
yang menjadi fokus penelitian adalah motivasi, yang dapat diukur dengan
angket/kuisioner motivasi. Untuk pengumpulan data ini, perlu digunakan teknik
nontes.
B.
Jenis-jenis
Instrumen Nontes
Instrumen non tes dapat dikategorikan menjadi angket, wawancara,
observasi, dan dokumentasi (Sukmadinata, 2011: 216-222) .
1.
Angket
Angket berupa sekumpulan pertanyaan yang biasanya
dalam bentuk tertulis kemudian diberikan kepada responden.
Pertanyaan-pertanyaan dalam angket atau disebut pula dengan kuisioner
bermacam-macam, diantaranya pertanyaan dikotomi, pertanyaan pilihan ganda,
urutan bertingkat (rank ordering),rating scale, dan pertanyaan
terbuka.
a.
Angket dengan pertanyaan dikotomi
Pertanyaan dikotomi dalam angket hanya memuat 2 pilihan
jawaban jawaban saja. Pertanyaan ini digunakan jika peneliti ingin menanyakan
kepada responden terkait dengan variabel yang hanya memuat dua jawaban saja.
Sebagai contoh jenis kelamin (laki-laki atau perempuan, ya atau tidak, benar
atau salah, dan lain-lainnya.
b.
Pertanyaan
terbuka
Pada angket dengan pertanyaan terbuka, angket berisi
pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan pokok yang bisa dijawab atau
direspon oleh responden secara bebas. Tidak ada anak pertanyaan ataupun rincian yang memberikan arah dalam
pemberian jawaban atau respon. Responden mempunyai kebebasan untuk memberikan
jawaban atau respon sesuai dengan persepsinya.
c.
Pertanyaan
berstruktur
Pada angket berstruktur, pertanyaan atau pernyataan
sudah disusun secara berstruktur di samping ada pertanyaan pokok atau
pertanyaan utama, juga ada anak pertanyaan atau subpertanyaan.
d.
Pertanyaan
tertutup
Dalam angket tertutup, pertanyaan atau
pernyataan-pernyataan telah memiliki alternatif jawaban (option) yang tinggal
dipilih oleh responden. Responden tidak bisa memberikan jawaban atau respon
lain kecuali yang telah tersedia sebagai alternatif jawaban.
Penulisan
angket yang baik perlu memperhatikan beberapa prinsip. Sugiyono(2010 : 142-144)
menyatakan ada 10 prinsip yang perlu diperhatikan.
1.
Isi dan tujuan pertanyaan.
Isi
dan tujuan pertanyaan memberi makna apakah isi pertanyaan tersebut merupakan
bentuk pengukuran atau bukan? Kalau berbentuk pengukuran, maka dalam membuat
pertanyaan harus teliti, setiap pertanyaan harus ada skala pengukuran dan
jumlah itemnya mencukupi untuk mengukur variabel yang akan diteliti.
2. Bahasa
yang digunakan
Bahasa yang digunkan dalam penulisan angket harus
sesuai dengan kemampuan bahasa responden. Kalau sekiranya responden tidak dapat
berbahasa indonesia, maka angket jangan disusun dengan bahasa indonesia.
3. Tipe
dan bentuk pertanyaan
Tipe pertanyaan dalam angket dapat terbuka maupun
tertutup dan bentuknya dapat menggunakan kalimat positif dan negatif.
4. Pertanyaan
tidak mendua
Setiap pertanyaan dalam angket jangan mendua(double – barreled) sehingga mengulitkan
responden untuk memberikan jawaban.
5. Tidak
menyakan yang sudah lupa.
Setiap pertanyaan dalam intrument angket, sebaiknya
juga tidak menanyakan hal-hal yang sekiranya reponden sudah lupa atau
pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan berfikir berat.
6. Pertanyan
tidak menggiring.
Pertanyaan dalam angket sebaiknya juga tidak
menggiring ke jawaban yang baik saja atau ke yang jelek saja.
7. Panjang
pertanyaan
Pertanyaan dalam angket sebaiknya tidak teralu
panjang, sehingga akan membuat jenuh responden dalam mengisi.
8. Urutan
pertanyaan
Urutan pertanyan dalam angket dimulai dari yang umum
menuju ke hal spesifik, atau dari yang mudah menuju ke hal yang sulit, atau
diacak.
9. Prinsip
pengukuran
Angket yang diberikan kepada responden adalah
merupakan intrument penelitian yang digunakan untuk mengukur variabel yang
diteliti.
10. Penampilan
fisik angket.
Penampilan fisik angket sebagai alat pengumpulan
data akan mempengaruhi respon atau keseriusan responden dalam mengisi angket.
Angket yang dibuat di kertas buram akan mendapat respon kurang menarik bagi
responden, bila dibandingkan angket yang dicetak dalam kertas yang bagus dan
berwarna.
Kuesioner atau angket
merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti
variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden. Selain
itu, kuesioner juga cocok digunakan bila jumlah responden cukup besar dan
tersebar di wilayah yang luas (Syaodih, 2. Bila penelitian dilakukan pada
lingkup yang tidak terlalu luas, sehingga angket dapat dapat diantarkan
langsung dalam waktu tidak terlalu lama, maka pengiriman angket kepada
responden tidak perlu melalui pos. Dengan adanya kontak langsung antara
peneliti dan responden akan menciptakan suatu kondisi yang cukup baik, sehingga
responden dengan sukarela akan memberikan data obyektif dan cepat.
2.
Wawancara
Wawancara (Moleong:2012:186) adalah percakapan
dngan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara atau interview
merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang banyak digunakan dalam
penelitian deskriptif kualitatif dan deskripsi kuantitatif. Wawancara
dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual.
Adakalanya juga wawancara dilakukan secara kelompok kalau memang tujuannya
untuk menghimpun data dari kelompok seperti wawancara dengan suatu keluarga,
pengurus yayasan, pembina pramuka, dll.
Sebelum melakukan wawancara para peneliti
menyiapkan instrumen wawancara yang disebut pedoman wawancara. Pedoman ini
berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang meminta untuk dijawab atau
direspon oleh responden. Isi pertanyaan atau pernyataan bisa mencakup fakta,
data, pengetahuan, konsep, pendapat, persepsi atau evaluasi responden berkenaan
dengan fokus masalah atau variabel-variabel yang dikaji dalam penelitian.
Bentuk pertanyaan atau pernyataan bisa sangat terbuka, sehingga responden
mempunyai keleluasaan untuk memberikan jawaban atau penjelasan. Pertanyaan atau
pernyataan dalam pedoman wawancara juga bisa berstruktur, suatu pertanyaan atau
pernyataan umum diikuti dengan pertanyaan atau pernyataan yang lebih khusus
atau lebih terurai, sehingga jawaban atau penjelasan dari responden menjadi
lebih dibatasi dan diarahkan. Untuk tujuan-tujuan tertentu sub pertanyaan atau
pernyataan-pernyataan tersebut bisa sangat berstruktur, sehingga jawabannya
menjadi singkat-singkat atau pendek-pendek, bahkan membentuk instrumen
berbentuk ceklist
Dalam persiapan wawancara selain penyusunan
pedoman , yang sangat penting adalah membina hubungan baik (rapport) dengan
responden. Keterbukaan responden unutk memberikan jawaban atau respon secara
objektif sangat ditentukan oleh hubungan baik yang tercipta antara pewawancara
dengan responden. Sebelum memulai berwawancara, pewawancara harus membina
persahabatan, keakraban dengan responden, menumbuhkan apresiasi dan kepercayaan
responden kepada pewawancara. Selama berlangsungnya wawancara, hal-hal di atas
harus terus dipelihara. Rusaknya kepercayaan dan hubungan baik dengan responden
dapat mengakibatkan kegagalan wawancara. Kegagalan wawancara dalam arti
pewawancara tidak mendapatkan data seperti yang diharapkan, baik objektivitas
maupun kelengkapannya.
3.
Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan suatu
teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap
kegiatan yang sedang berlangsung. Kegiatan tersebut bisa berkenaan dengan cara
guru mengajar, siswa belajar, kepala sekolah yang sedang memberikan pengarahan,
dsb. Observasi dapat dilakukan secara partisipatif atau nonpartisipatif. Dalam
observasi partisipatif, pengamat ikut serta dalam kegiatan yaang sedang
berlangsung, pengamat ikut sebagai peserta rapat atau peserta pelatihan. Dalam
observasi non partisipatif, pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan, dia hanya
berperan mengamati kegiatan.
Seperti halnya dalam wawancara, sebelum
melakukan pengamatan sebaiknya peneliti atau pengamat menyiapkan pedoman
observasi. Dalam penelitian kualitatif, pedoman observasi ini hanya berupa
garis-garis besar atau butir-butir umum kegiatan yang akan diobservasi. Rincian
dari aspek-aspek yang diobservasi dikembangkan di lapangan dalam proses
pelaksanaan observasi. Dalam penelitian kuantitatif, pedoman observasi dibuat
lebih rinci, bahkan untuk penelitian-penelitian tertentu dapat berbentuk ceklis.
Terkait dengan hal itu, minimal ada dua macam bentuk atau format pedoman
observasi untuk penelitian kuantitatif. Pertama, berisi butir-butir pokok
kegiatan yang akan diobservasi. Dalam pelaksanaan pencatatan observasi,
pengamat membuat deskripsi singkat berkenaan dengan perilaku yang diamati.
Kedua, berisi butir-butir kegiatan yang mungkin diperlihatkan oleh
individu-individu yang diamati. Dalam pencatatan observasi pengamat hanya
tinggal membubuhkan tanda cek terhadap perilaku atau kegiatan yang
diperlihatkan oleh individu-individu yang diamati. Pedoman observasi dapat juga
disusun dalam bentuk skala. Untuk tiap butir kegiatan atau perilaku yang
diamati telah disiapkan rentang skala. Skala ini dapat berbentuk skala
deskriptif seperti: baik sekali-baik-cukup-kurang-kurang sekali atau sering
sekali-sering-kadang-kadang-jarang-jarang sekali.
4.
Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan
data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,
gambar maupun elektronik. Dokumen-dokumen dihimpun dipilih sesuai dengan tujuan
dan fokus masalah. Kalau fokus penelitiannya berkenaan dengan kebijakan
pendidikan, dan tujuannya mengkaji kebijakan-kebijakan pendidikan untuk
pengembangan karakter bangsa, maka yang dicari adalah dokumen-dokumen
undang-undang, Kepres, PP, Kepmen, Kurikulum, pedoman-pedoman yang berkenaan
dengan kebijakan pengembangan karakter bangsa.
Dokumen-dokumen tersebut diurutkan sesuai
dengan sejarah kelahiran, kekuatan dan kesesuaian isinya dengan tujuan
pengkajian. Isinya dianalisis (diurai), dibandingkan, dan dipadukan (sintesis)
membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Jadi studi
dokumenter tidak sekadar mengumpulkan dan menuliskan atau melaporkan dalam
bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah dokumen. Yang dilaporkan dalam
penelitian adalah hasil analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut, bukan
dokumen-dokumen mentah (dilaporkan tanpa analisis). Untuk bagian-bagian
tertentu yang dipandang kunci dapat disajikan dalam bentuk kutipan utuh, tetapi
yang lainnya disajikan pokok-pokoknya dalam rangkaian uraian hasil analisis
kritis dari peneliti.
C.
Skala Pengukuran
Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang
digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada
dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran
akan menghasilkan data kuantitatif (Sugiyono, 2009: 133). Dengan skala
pengukuran ini, maka nilai variabel yang akan diukur dengan instrumen tertentu
dapat dinyatakan dalam bentuk angka, sehingga akan lebih akurat, efisien dan
komunkatif. Misalnya berat emas 19 gram, berat besi 100 kg, suhu badan orang
yang sehat 37o Celcius, IQ seseorang 150 dll. Selanjutnya dalam
pengukuran sikap, sikap sekelompok orang akan diketahui termasuk gradasi mana
dari suatu skala sikap.
Berbagai skala sikap yang dapat digunakan untuk
penelitian bidang pendidikan dan sosial antara lain adalah;
1.
Skala
Likert
Skala
likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang atau
kelompok orang tentang fenomena sosial.
Dalam penelitian fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik
oleh peniliti, yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian.
Dengan skala likert, maka
variabel yang akan diukur dijabakan menjadi indikator variabel. Kemudian
indikator tersebut dijadikan titik tolak untuk menyusun item-item instrumen
yang daoat berupa pertanyaan atau pernyataab.
Jawaban
setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari
sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata antara lain:
a.
Sangat
setuju a.
Selalu
b.
Setuju b.
Sering
c.
Ragu-ragu c.
Kadang-kadang
d.
Tidak
setuju d.Tidak
pernah
e.
Sangat
Tidak Setuju
a.
Sangat
positif a.
Sangat baik
b.
Positif b.
Baik
c.
Negatif c.
Tidak Baik
d.
Sangat
Negatif d.
Sangat tidak baik
Untuk keperluan
analisis kualitatif maka jawaban itu dapat diberi skor misalnya:
1)
Setuju/
Selalu / Sangat Positif diberi skor (5)
2)
Setuju
/ Sering / Positif
diberi skor (4)
3)
Ragu-ragu/
kadang-kadang / netral diberi skor (3)
4)
Tidak
setuju / hampir tidak pernah / negatif diberi skor (2)
5)
Sangat
tidak setuju / tidak pernah / diberi skor (1)
Instrumen
penelitian yang menggunakan skala likert dapat dibuat dalam bentuk checklist
maupun pilihan ganda.
a.
Contoh
bentuk checklist
Berilah
jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan pendapat anda, dengan cara memberi
tanda (√) pada kolom yang tersedia
No |
Pertanyaan |
Jawaban |
||||
SS |
ST |
RG |
TS |
STS |
||
1. 2. |
Sekolah ini akan menggunakan
teknologi informasi dalam pelayanan adminstraasi dan akademik ............................. |
|
√ |
|
|
|
SS =
Sangat Setuju diberi skor (5)
ST =
Setuju diberi skor
(4)
RG =
Ragu-ragu diberi skor (3)
TS
= Tidak Setuju diberi skor
(2)
STS = Sangat Tidak Setuju diberi skor (1)
Kemudian dengan teknik
pengumpulan data angket maka instrumen tersebut misalnya diberi kepada 100
orang karyawan yang diambil random. Dari 100 orang pegawai setelah dilakka analisis
misalnya
25
Orang menjawab SS
40
0rang menjawab ST
5
Orang menjawab RG
20
Orang menjawab TS
10
Orang menjawab STS
Berdasarkan data tersebut 65
orang (40+25) atau 65% stakeholder
menjawab setuju. Jadi kesimpulannya mayoritas stakeholder setuju dengan
sekolah yang akan menggunakanteknologi informasi dalam pelayanan adiministrasi
dan akademik.
Data interval tersebut juga dapat
diaalisis dengan menghitung rata-rata jawaban berdasarkan skoring setiap
jawaban dari responden. Berdasarkan skor yang telah ditetapkan dapat dihitung
sebagai berikut:
Jumlah
skor untuk 25 orang yang menjawab SS =
25 x 5= 125
Jumlah
skor untuk 40 orang yang menjawab ST =
40 x 4 =160
Jumlah
skor untuk 5 orang yang menjawab RG =
5 x 3 = 15
Jumlah
skor untuk 20 orang yang menjawab TS =
20 x 2 = 80
Jumlah
skor untuk 10 orang yang menjawab STS =
10 x 1 = 10
Jumlah
skor yang didapat 350
Jumlah skor ideal (kriterium)
untuk seluruh item = 5 x100 = 500 (seandainya semua menjawab SS). Jumlah skor
yang diperoleh dari penelitian = 350. Jadi berdasarkan data itu maka tingkat
perstujuan stakeholder terhadap penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan
adminstrasi dan akademi sekolah = (350 :500) x 100% = 70% dari yang diharapkan
atau 100%.
100 200 300
350 400 500
Jadi
berdasarkan data yang diperoleh dari 100 respondern maka rata-rata 350 terletak
pada daerah mendekati setuju.
b.
Contoh
bentuk pilihan ganda
Berilah salah satu jawaban
terhadap pertanyaan berikut sesuai dengan pendapat anda, dengan cara membagi
tanda lingkaran pada nomor jawaban yang tersedia.
Kurikulum
baru itu akan diterapkan dilembaga pendidikan anda?
a.
Sangat
tidak setuju
b.
Tidak
setuju
c.
Ragu-ragu
/ NETRAL
d.
Setuju
e.
Sangat
setuju
Dengan bentuk pilihan ganda itu,
maka jawbn dapat diletakan pada tempat yang berbeda-beda. Untuk jawaban diatas
“sangat tidak setuju” diletakkan pada jawaban nomor pertama. Untuk item
selanjutnya jawaban “sangat tidak setuju” dapat diletakkan pada jawaban nomor
terakhir.
Dalam penyusunan instrumen untuk
variabel tertentu, sebaiknya butir-butir pertanyaan dibuat dalam bentuk kalimat
positif,netral atau negatif, sehingga responden dapat menjawab dengan serius
dan konsisten. Contoh:
1)
Saya
setuju dengan ujian nasional untuk mengukur kompetensi lulusan sekolah di
Indonesia (positif).
2)
Ujian
Nasional telah banyak diterapkan dinegara-negara maju. (netral)
3)
Saya
tidak setuju dengan Ujian Nasioanl untuk mengukur kompetensi lulusan sekolah di
Indonesia (negatif).
Dengan
cara demikian maka kecenderungan responden untuk menjawab pada kolom tertentu
dari bentuk checklist dapat dikurangi dengan model ini juga responden akan
selalu membaca pertanyaan setiap item instrumen dan jawabannya. Pada bentuk
checklist, sering jawaban tidak dibaca, karena letak jawaban sudah menentu.
Tetapi dengan bentuk checklist akan didapat keuntungan dalam hal ini singkat
dalam pembuatannya, hermat kertas, mudah mentabulasikan data, dan secara visual
lebih menarik. Data yang diperoleh dari skala tersebut berupada data interval.
2.
Skala
Guttman
Skala pengukuran dengan tipe ini
akan didapat jawaban yang tegas, yaitu “ya – tidak”, “benar – salah”,
“pernah-tidak pernah”, “positif – negatif”, dan lain-lain. Data yang diperoleh
dapat berupa data interval atau rasio dikhotomi (dua alternatif) Jadi kalau
pada skala Likert terdapat 3,4,5,6,7 interval, dari kata “sangat setuju” sampai
“sangat tidak setuju”, maka pada dalam skala Guttman ada dua interval yaitu
“setuju” atau “tidak setuju”. Penelitian menggunakan skala Guttman dilakukan
bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu permasalahan yang
ditanyakan.
Contoh:
1.
Bagaimana
pendapat anda, bila orang itu menjabat kepala sekolah disini?
a.
Setuju
b.
Tidak
Setuju
2.
Pernahkan
pemilik sekolah melakukan pemeriksaan diruang kelas anda?
a.
Tidak
pernah
b.
Pernah
Skala
Guttman selain dapat dibuat dalam bentuk pilihan ganda, juga dapat dibuat dalam
bentuk chekclist. Jawaban dapat dibuat skor tertinggi 1 dan terendah 0.
Misalnya untuk jawaban setuju diberi skor 1 dan jawaban tidak setuju diberi 0. Analisa
dilakukan seperti pada skala Likert.
Pernyataan
yang berkenaan dengan fakta benda bukan termasuk dalam skala pengukuran
interval dikotomi.
Contoh:
1)
Apakah
sekolah anda dekat jalan protokol?
a.
Ya
b.
Tidak
2)
Apakah
anda punya ijazah sarjana?
a.
Punya
b.
Tidak
3.
Semantic
Defferensial
Skala pengukuran yang berbentuk
semantic defferensial dikembangkan oleh Osgood. Skala ini juga digunakan untuk
mengukur sikap, hanya bentuknya tidak
pilihan ganda maupun cheklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum yang
jawaban “sangat partisipatif” terletak di bagian kanan garis, atau sebaliknya.
Biasanya skala ini digunakan untuk mengukur sikap/karakteristik tertentu yang
dipunyai oleh seseorang.
Contoh:
MOHON DIBERI NILAI GAYA KEPEMIMPINAN
KEPALA SEKOLAH
Bersahabat 5 4 3 2 1 Tidak bersahabat
Tepat janji 5 4 3 2 1 Tepat janji
Bersaudara 5 4 3 2 1 Memusuhi
Memberi pujian 5 4 3 2 1 Mencela
Responden dapat
memberi jawaban, pada rentang jawaban yang positif sampai dengan negatif. Hal
ini pada persepsi responden kepada yang dinilai. Responden yang memberi
penilaian dengan angka 5, berarti persepsi responden terhadap kepala sekolah
itu sangat positif, sedangkan bila memberi jawaban pada angka 3, berarti
netral, dan bila memberi jawaban pada angka 1, maka persepsi responden terhadap
kepala sekolah sangat negatif.
4.
Rating Scale
Dari ketiga skala pengukuran seperti
yang telah dikemukakan, data yang diperoleh semuanya adalah data kualitatif
yang kemudian dikuantitatifkan. Tetapi dengan rating-scale data mentah
yang diperoleh berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.
Responden menjawab, senang atau
tidak senang, setuju atau tidak setuju, pernah atau tidak pernah adalah
merupakan data kualitatif. Dalam skala model rating scale, responden tidak akan
menjawab salah satu dari jawaban kualitatif yang telah disediakan, tetapi
menjawab salah satu jawaban kuantitatif yang telah disediakan. Oleh karena itu,
rating scale ini lebih fleksibel, tidak terbatas untuk pengukuran sikap saja,
tetapi untuk mengukur persepsi responden terhadap fenomena lainnya, seperti
skala untuk mengukur status sosial ekonomi, kelembagaan, pengetahuan,
kemampuan, proses kegiatan dan lain-lain.
Yang penting bagi penyusun instrumen
dengan rating scale adalah harus dapat mengartikan setiap angka yang diberikan
pada alternatif jawaban pada setiap item instrumen. Orang tertentu memilih
jawaban angka 2, tetapi angka 2 oleh orang tertentu belum tentu sama maknanya
dengan orang lain yang juga memilih jawaban dengan angka 2.
Contoh:
Seberapa tinggi pengetahuan anda terhadap mata pelajaran berikut
sebelum dan sesudah mengikuti pendidikan dan latihan. Arti setiap angka adalah
sebagai berikut.
0 = bila sama sekali belum tahu
1 = telah mengetahui sampai dengan 25%
2 = telah mengetahui sampai dengan 50%
3 = telah mengetahui sampai dengan 75%
4 = telah mengetahui sampai dengan 100% (semuanya)
Mohon dijawab dengan cara melingkari
nomor sebelum dan sesudah latihan
Pengetahuan
sebelum mengikuti diklat |
Mata
pelajaran |
Pengetahuan
setelah mengikuti diklat |
0 1
2 3 4 |
Komunikasi |
0 1 2 3 4 |
0 1 2 3 4 |
Tata ruang
kantor |
0 1 2 3 4 |
0 1 2 3 4 |
Pengambilan
keputusan |
0 1 2
3 4 |
0 1 2 3 4 |
Sistem
pembuatan laporan |
0 1
2 3 4 |
0 1 2 3 4 |
Pemasaran |
0 1 2 3 4 |
0 1 2 3 4 |
Akuntansi |
0 1
2 3 4 |
0 1 2 3 4 |
Statistik |
0 1 2 3 4 |
D.
Pengembangan Instrumen Non Tes
Untuk mengembangkan instrumen yang baik, ada langkah-langkah yang
perlu diperhatikan. Langkah-langkah mengembangkan instrumen baik tes maupun non
tes sebagai berikut (Retnawati, 2016: 3-6).
1.
Menentukan
tujuan penyusunan instrumen
Pada
awal menyusun instrumen, perlu ditetapkan tujuan penyusunan instrumen. Tujuan
penyusunan ini memandu teori untuk mengonstruk instrumen, bentuk instrumen,
penyekoran, sekaligus pemaknaan hasil penyekoran pada instrumen yang akan
dikembangkan. Tujuan penyusunan instrumen ini perlu disesuaikan dengan tujuan
penelitian.
2.
Mencari teori
yang relevan atau cakupan materi
Setelah
tujuan penyusunan instrumen ditetapkan, selanjutnya perlu dicari teori atau
cakupan materi yang relevan. Teori yang relevan digunakan untuk membuat
konstruk, apa saja indikator suatu variabel yang akan diukur. Kaitannya dengan
tes, perlu dibatasi juga cakupan materi apa saja yang akan menjadi bahan
menyusun tes.
3.
Menyusun
indikator butir instrumen/soal
Indikator
soal ini ditentukan berdasarkan kajian teori yang relevan pada instrument
nontes. Adapun pada instrumen tes, selain mempertimbangkan kajian teori, perlu
dipertimbangkan cakupan dan kedalaman materi. Indikator ini telah bersifat
khusus, sehingga dengan menggunakan indikator dapat disusun menjadi butir
instrumen. Biasanya aspek yang akan diukur dengan indikatornya disusun menjadi
suatu tabel. Tabel tersebut kemudian disebut dengan kisi-kisi. Penyusunan
kisi-kisi ini mempermudah peneliti menyusun butir soal.
4.
Menyusun butir
instrumen
Langkah
selanjutnya adalah menyusun butir-butir instrumen. Penyusunan butir ini
dilakukan dengan melihat indikator yang sudah disusun pada kisi-kisi. Pada
penyusunan butir ini, peneliti perlu mempertimbangkan bentuknya. Misal untuk
nontes akan menggunakan angket, angket jenis yang mana, menggunakan berapa
skala, penskorannya, dan analisisnya. Jika peneliti akan menggunakan isntrumen
berupa tes, perlu dipikirkan apakah akan menggunakan bentuk objektif atau
menggunakan bentuk uaraian. Pada penyusunan butir ini, peneliti telah
mempertimbangkan penskoran untuk tiap butir, sehingga memudahkan analisis.
5.
Validasi isi
Setelah
butir-butir soal tersusun, langkah selanjutnya adalah validasi. Validasi ini
dilakukan dengan menyampaikan kisi-kisi, butir instrumen, dan lembar diberikan
kepada ahli untuk ditelaah secara kuantitatif dan kualitatif.
6.
Revisi
berdasarkan masukan validator
Biasanya
validator memberikan masukan. Masukan-masukan ini kemudian digunakan peneliti
untuk merevisinya. Jika perlu, peneliti mengkonsultasikannya lagi hasil
perbaikan tersebut, sehingga diperoleh instrumen yang benar-benar valid.
7.
Melakukan
ujicoba kepada responden yang bersesuaian untuk memperoleh data respons peserta
Setelah
direvisi, butir-butir instrumen kemudian disusun lengkap (dirakit) dan siap
diujicobakan. Ujicoba ini dilakukan dalam rangka memperoleh bukti empiris.
Ujicoba ini dilakukan kepada responden yang bersesuaian dengan subjek
penelitian. Peneliti dapat pula menggunakan anggota populasi yang tidak menjadi
anggota sampel.
8.
Melakukan
analisis (reliabilitas, tingkat kesulitan, dan daya pembeda)
Setelah
melakukan ujicoba, peneliti memperoleh data respons peserta ujicoba. Dengan
menggunakan respons peserta, peneliti kemudian melakukan penskoran tiap butir.
Selanjutnya hasil penskoran ini digunakan untuk melakukan analisis reliabilitas
skor perangkat tes dan juga analisis karakteristik butir. Analisis karakteristik
butir dapat dilakukan dengan pendekatan teori tes klasik maupun teori respons
butir.
9.
Merakit
instrumen
Setelah
karakteristik butir diketahui, peneliti dapat merakit ulang perangkat
instrumen. Pemilihan butir-butir dalam merakit perangkat ini mempertimbangkan
karakteristik tertentu yang dikehendaki peneliti, misalnya tingkat kesulitan
butir. Setelah diberi instruksi pengerjaan, peneliti kemudian dapat
mempergunakan instrumen tersebut untuk mengumpulkan data penelitian.
Contoh Pengembangan Instrumen Nontes (Pengembangan Self Regulated
Learning) (Retnawati, 2016: 12-15)
·
Menentukan
Tujuan Penyusunan Instrumen Tujuan penyusunan instrumen ini adalah
mengembangkan instrumen self regulated learning (SRL).
·
Menentukan
teori yang relevan
Untuk keperluan ini, peneliti dapat mencari teori yang
relevan dari buku referensi, jurnal-jurnal ataupun penelitian yang telah
terdahulu. Contohnya adalah ketika mengembangkan instrumen SRL, dicari
teori-teori yang relevan. Misalnya, menurut Zumbrunn, dkk mengungkapkan bahwa self
regulated learning mencakup 3 fase, meliputi forethought and
planningphase, performance monitoring phase, dan reflection on
performance phase (Retnawati, 2016: 13). Pada fase pemikiran, ada dua hal
yang sangat terkait yakni analisis tugas dan keyakinan dan motivasi diri. Fase
control kehendak atau kinerja meliputi pengendalian diri dan pengamatan yang
khusus. Fase Refleksi diri terdiri dari perkembangan diri, dan reaksi diri.
Pada fase pemikiran, dapat diklasifikasikan menjadi dua hal yakni
analisis tugas (meliputi tujuan pengaturan diri, perencanaan strategis) dan
keyakinan motivasi diri (keyakinan diri dan orientasi tugas). Fase kontrol
kinerja meliputi pengendalian diri (instruksi diri, fokus perhatian, strategi
penyelesaian tugas). Refleksi diri terdiri dari pertimbangan diri (evaluasi
diri dan atribusi) dan juga reaksi diri (kepuasan diri dan adaptivitas). Ketiga
hal dalam Self Regulated Learning ini perlu diukur dalam konteks
akademik.
·
Menyusun indikator butir instrumen Dari
teori-teori yang relevan, dikonstruk indikator-indikator untuk SRL. Untuk
memperjelas tiap indikator, peneliti dapat mengembangkan subindikator.
Subindikator ini digunakan untuk menyusun butir instrumen. Contohnya sebagai
berikut.
Komponen
dan Indikator SRL (dikembangkan dari Zimmerman (2000))
Komponen |
Indikator |
Sub
Indikator |
No.
Butir |
Pemikiran |
Analisis
Tugas |
Pengaturan
tujuan |
1 |
Perencanaan
strategis |
2 |
||
Keyakinan
Diri |
Kemampuan
diri |
3 |
|
Orientasi
tugas |
4 |
||
Kontrol
Kinerja |
Pengendalian
Diri |
Instruksi
diri |
5 |
Usaha
untuk fokus belajar |
6 |
||
Strategi
penyelesaian tugas |
7 |
||
Pengamatan
yang Cukup |
Pemantauan
metakognitif |
8 |
|
Catatan
diri |
9 |
||
Eksperimentasi
diri |
10 |
||
Refleksi
Diri |
Pertimbangan
diri |
Evaluasi
diri |
11 |
Atribusi
kausal |
12 |
||
Reaksi
diri |
Kepuasan
diri (hadiah) |
13 |
|
Kepuasan
diri (hukuman) |
14 |
||
Adaptif/defensif |
15 |
·
Menyusun
butir-butir Instrumen
Butir-butir instrumen kemudian disusun berdasarkan
subindikator tersebut. Contohnya sebagai berikut. Bentuk yang sesuai dengan
kasus ini adalah angket dengan skala Likert, dengan 4 pilihan TP (tidak
pernah), J (jarang), S (Sering), SL (Selalu).
Butir untuk mengukur SRL dengan Likert
No |
Pernyataan |
TP |
J |
S |
SL |
1 |
Saya merumuskan tujuan-tujuan kuliah/belajar saya,
sebelum kegiatan dimulai |
|
|
|
|
2 |
Saya merencanakan strategi untuk mencapai tujuan
kuliah/belajar saya |
|
|
|
|
3 |
Saya mempercayai kemampuan diri saya untuk berhasil
dalam kuliah/belajar |
|
|
|
|
4 |
Saya menitikberatkan usaha mencapai tujuan
kuliah/belajar saya dibandingkan dengan kegiatan lain |
|
|
|
|
5 |
Saya membuat jadwal untuk diri sendiri terkait dengan
pencapaian tujuan belajar saya |
|
|
|
|
6 |
Saya mengupayakan diri untuk fokus belajar |
|
|
|
|
7 |
Saya menyusun strategi paling tepat untuk
penyelesaian tugas kuliah/belajar |
|
|
|
|
8 |
Saya membuat peta aktivitas/kegiatan yang telah saya
lakukan |
|
|
|
|
9 |
Saya membuat catatan apa yang telah saya lakukan baik
yang berhasil ataupun yang belum |
|
|
|
|
10 |
Jika ada hal yanng membuat saya gagal, saya akan
berusaha lagi dengan strategi lain |
|
|
|
|
11 |
Setelah selesai melakukan kegiatan dan melihat
hasilnya (misal akhir semester) saya melakukan evaluasi |
|
|
|
|
12 |
Saya mencermati penyebab keberhasilan atau kegagalan
usaha saya |
|
|
|
|
13 |
Setelah mencapai hal sesuai target kuliah/belajar,
saya memberi hadiah untuk diri sendiri |
|
|
|
|
14 |
Saya menghukum diri sendiri jika ada hal dari diri
sendiri yang menyebabkan saya gagal mencapai target kuliah/belajar |
|
|
|
|
15 |
Jika suatu strategi kuliah/belajar yang saya gunakan
berhasil, saya akan menggunakannya lagi. |
|
|
|
|
E.
Penskoran
Penilaian
Penskoran penilaian afektif terbagi menjadi dua yaitu
penskoran untuk hasil pengamatan, dan penskoran untuk hasil angket. Penskoran
untuk hasil pengamatan akan bergantung pada tujuan yang ingin dicapai misalnya
pada angket dibawah ini:
Laporan
Sikap Peserta Didik Selama Pembelajaran (Satu KD)
Nama Peserta Didik : Alimuddin
Mata Pelajaran : Matematika
Kompetensi Dasar :
2.1
Indikator
Sikap |
Pertemuan |
Total |
|||||
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
||
Kehadiran
tepat waktu |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
6 |
Bertanya |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
6 |
Sopan |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
6 |
Percaya
Diri |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
6 |
Kerjasama |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
6 |
Fokus |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
√ |
6 |
Total |
|
|
|
|
|
|
36 |
Tabel diatas berlaku
untuk 6 indikator sikap pada satu kompetensi dasar. Nilai minimal untuk seorang
peserta didik jika tidak pernah sama sekali menunjukkan indikator sikap selama
6 kali pertemuan yaitu 0 dan nilai maksimalnya 36. Jika setiap pertemuan
menunjukkan keenam indikator sikap tersebut. Kita membuat empat kriteria sikap
yaitu sangat baik, baik, kurang baik, dan tidak baik. Sebaran skor untuk
keempat kriteria tersebut diperoleh dengan membagi sama besar interval dari 0
sampai 36 dan diperoleh;
0 ≤ skor ≤ 9 : Kriteria Tidak Baik
10 ≤ skor ≤ 18 :
Kriteria Kurang Baik
19 ≤ skor ≤ 27 :
Kriteria Baik
28 ≤ skor ≤ 36 :
Kriteria Sangat Baik
Jadi untuk peserta didik
yang bernama Alimuddin pada tabel diatas dengan skor total 36 memiliki sikap
yang sangat baik untuk kompetensi dasar nomor 2.1. Kalau seorang peserta didik
lain memiliki total skor untuk enam indikator sikap hasil pengamatan selama
pembeljaran satu kompetensi dasar sebesar 23 maka anak tersebut memiliki sikap
yang baik. Prinsip seperti ini dapat diperluas untuk menentukan kriteria sikap
selama pembelajaran dalam satu semester.
Kemudian untuk penskoran
penilaian afektif, misalnya sikap dalam bentuk angket dapat dilakukan dengan menggunakan kondisi
ideal dan menghitung rata-rata ideal (Ri) dan Standar Deviasi (Sdi)
dengan rumus:
(Ri) = ½ (Jumlah skor maks.yang dicapai
instrumen – Jumlah skor min.yang dicapai instrumen)
(Sdi) = (Jumlah skor maks. yang dicapai
instrumen – Jumlah skor min.yang dicapai instrumen)
Kemudian, menentukan kriteria kecenderungan sikap,
misalnya kita tetapkan 4 kriteria yaitu sangat baik, baik, kurang baik, dan
tidak baik menggunakan rumus berikut:
Kriteria Sangat Baik :
Ri + 1.5 Sdi < skor ≤ Jumlah skor maksimum
Baik :
Ri < skor ≤
Ri + 1.5 Sdi
Kurang Baik : Ri - 1.5 Sdi < skor ≤
Ri
Tidak Baik :
Jumlah Skor Minimum ≤ skor ≤ Ri + 1.5 Sdi
Untuk memudahkan pemahaman
dalam penskoran penilian afektif perhatikan tabel sebagai berikut:
Angket Sikap Terhadap
Matematika
No |
Pernyataan |
SS |
S |
N |
TS |
STS |
1 |
Matematika pelajaran yang
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari |
|
|
|
|
|
2 |
Matematika pelajaran yang
kurang menarik |
|
|
|
|
|
3 |
Saya lebih banyak
mengerjakan matematika dibandingkan pelajaran yang lain |
|
|
|
|
|
4 |
Matematika bermanfaat untuk
kehidupan saya yang akan datang |
|
|
|
|
|
5 |
Saya merasa biasa saja jika
tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru matematika |
|
|
|
|
|
6 |
Saya berusaha lebih giat
belajar matematika |
|
|
|
|
|
7 |
Saya merasa senang bila
tidak dapat menjawab pertanyaan guru tentang matematika |
|
|
|
|
|
8 |
Belajar matematika sangat
membosankan |
|
|
|
|
|
9 |
Jika menemukan kesulitan
dalam belajar matematika saya bertanya pada teman. |
|
|
|
|
|
10 |
Saya membeli buku-buku yang
berkaitan dengan matematika |
|
|
|
|
|
11 |
Saya percaya akan
memperoleh nilai terbaik dalam matematika |
|
|
|
|
|
12 |
Matematika penting
dipelajari oleh semua peserta didik |
|
|
|
|
|
13 |
Matematika membuat perasaan
saya putus asa |
|
|
|
|
|
14 |
Konsep matematika tidak ada
kaitan dengan persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari |
|
|
|
|
|
15 |
Jika ada konsep yang belum
jelas maka saya tanyakan langsung pada guru matematika |
|
|
|
|
|
16 |
Pelajaran matematika sulit
bagi saya |
|
|
|
|
|
17 |
Matematika membantu saya
berpikir secara logika |
|
|
|
|
|
18 |
Saya merasa ada peningkatan
dalam belajar matematika |
|
|
|
|
|
19 |
Saya tidak mengerjakan
soal-soal matematika yang ada dibuku pelajaran |
|
|
|
|
|
20 |
Saya ingin memperoleh nilai
matematika yang tinggi |
|
|
|
|
|
21 |
Belajar matematika harus
bertahap dan terus menerus |
|
|
|
|
|
22 |
Saya mempelajari dahulu
materi yang akan diajarkan guru matematika berikutnya |
|
|
|
|
|
23 |
Konsep matematika tidak
terstruktur dan terarah sehingga sulit dipahami |
|
|
|
|
|
24 |
Belajar matematika lebih
banyak meghafal rumus |
|
|
|
|
|
25 |
Matematika kurang penting
dalam kehidupan |
|
|
|
|
|
26 |
Mengerjakan soal matematika
butuh waktu lama |
|
|
|
|
|
27 |
Saya suka pelajaran yang
banyak menggunakan rumus matematika |
|
|
|
|
|
Dari contoh diatas dengan
jumlah butir 27, skor maksimal untuks setiap butir 5 dan skor minimum untuk
setiap butir 1. Dengan demikian,jumlah skor maksimum yang dicapai = 5 x 27 =135
dan jumlah skor minimum 1x27 = 27 sehingga didapat hitung rata-rata ideal dan
standar deviasi idealnya yaitu :
Ri = ½ (135+27) = 81
Sdi = (135-27) = 18
Kemudian kita menghitung:
Ri + Sdi = 81 + (1.5) (8) =
93
Ri - Sdi = 81 - (1.5) (8) =
69
Jadi kriteria kecenderungan
sikap terhadap matematika didapat tabel sebagai berikut:
Interval Skor |
Kriteria |
93 <
skor ≤ 135 |
Sangat Baik |
81 <
skor ≤ 93 |
Baik |
69 < skor ≤ 81 |
Kurang Baik |
18 < skor ≤ 69 |
Tidak Baik |
Jadi, jika seorang peserta didik tidak memperoleh jumlah skor dari hasil
angket sikap tergadap matematika sebesar 70 maka peserta didik tersebut
cenderung memiliki sikap yang kurang baik terhadap matematika.
Cecil, R Reynolds,dkk. 2010. Measurement and Assesment in Education. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Ekawati, Istina dan Sumaryanta. 2011. Pengembangan Instrumen Penilaian Pembelajaran Matematika SD/SMP. Yogyakarta: PPPPTK Matematika
Mansyur , dkk. 2015. Asesmen Pembelajaran Di Sekolah. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Moleong, 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Retnawati, Heri. 2016. Analisis Kuantitatif Instrumen Penelitian : Panduan peneliti, mahasiswa dan psikometrian. Yogyakarta: Parama Publishing
Robert, L Ebel and David, A Frisbie. 1991. Essentials of Educational Measurement. New Delhi: Prentice Hall
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, N.S. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
0 Komentar